Enter Header Image Headline Here

Jumat, 19 April 2013

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Abses Regio Inguinalis

BAB III
PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu rongga (rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al, 1995: 257). Menurut Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5) Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses Inguinal merupakan kumpulan nanah pada Inguinal akibat infeksi bakteri setempat.
1.2 Penyebab / Faktor Predisposisi
Underwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara lain:
1.Infeksi mikrobial
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis kimiawi

yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel.
2.Reaksi hipersentivitas
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
3.Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
4.Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.
5.Nekrosis jaringan
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu respons, radang akut.
1.3 Gambaran Klinik
Smeltzer, S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi nyeri tekan. Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa manifestasi klinis pada Abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses (Lewis, S.M et al, 2000: 589). Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan, bengkak, terlihat jelas (lebih dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar luka, warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk, menggigil atau demam (lebih dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).
1.4 Anatomi / Patologi
Rassner et al (1995: 257) mengemukakan bahwa subkutis (hipoderm, panikulus adiposus) merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping epidermis dan dermis. Subkutis yang letaknya diantara dermis (korium) dan fasia tubuh, membungkus dengan lapisannya yang relatif tebal.
Rassner et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel lemak, jaringan ikat dan pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir menjadi lemak (mikrolobuli, lobuli, pembuluh darah) dan ini semua diringkas dalam septa jaringan ikat. Septa jaringan ikat (septa fibrosa) mengukuhkan subkutis baik dalam fasia tubuh maupun dalam korium dan bertindak sebagai jalan untuk pembuluh darah dan saraf kulit ke dalam subkutis masuk folikel, rambut dan kelenjar keringat sebagai adneksa kutis. Selain itu dalam subkutis terdapat vena-vena besar (misalnya vena saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar getah bening regional superfisialis. Fungsi subkutis antara lain sebagai termoisolasi, depo energi (penimbunan lemak), fungsi pelindung dari faktor mekanik (lapisan pelindung dan lapisan penggeser antara korium dan fasia tubuh).
Nadesul, H (1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi makan kulit. Melalui aliran darah, zat makanan dan zat asam disalurkan kelenjar getah bening membuat zat anti. Maksudnya untuk melindungi tubuh dari serangan bibit penyakit, kulit yang memiliki kelenjar-kelenjar lemak dan kelenjar peluh. Keduanya untuk membasahi kulit agar lembab. Bahan pelembab ini sekaligus sebagai pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit. Sedangkan kelenjar peluh sebagai pengalir peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh yang berlebihan.
Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita terdapat perubahan-perubahan berikut:
1.Perubahan yang bersifat reaktif: hipertrofi /hiperplasi lokal/umum atau atropi.
2.Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis jaringan lemak (akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan lipogranuloma (makrofag/ lipofag atau pembentukan serabut), fibrosis jaringan lemak maupun jaringan parut (stadium terminal)
3.Peradangan: secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu panikulitis terutama dapat mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam septa jaringan ikat (panikulitis septal)
Proses penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh darah subkutan dan menyebabkan perubahan sekunder jaringan lemak (Rassner et al, 1995: 256).
1.5 Patofisiologi
Sjamsuhidajat et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara mengeluarkan toksin. Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan merupakan stimulus yang kuat untuk terjadi infeksi.
Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan merupakan tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood, J.C.E (1999: 246) mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi (Guyton, A.C, 1995: 647-648).
Underwood, J.C.E (1999: 234-235) mengemukakan bahwa pada peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran darah yang menikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan menyebabkan berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang menyebabkan terganggunya mobilitas.
Sjamsuhidajat et al (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi selama masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan (FKUI, 1989: 21) sehingga terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi dapat meningkatkan risiko penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995: 94).
1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari abses yaitu :
1.      Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka manifestasi lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari prose inflamasi, yakni kemrahan (rubor), panas (color), pembengkakan (tumor), rasa nyeri (dolor) dan hilangnya fungsi.
(http: //id.wikipedia.org/wiki/Abses)
2.      Timbul atau teraba benjolan pada tahap awal berupa benjolan kecil, pada stadium lanjut benjolan bertambah besar, demam, benjolan meningkat, malaise, nyeri, bengkak, berisi nanah (pus).
(http//www.surabayapost.co.id)
3.      Gambaran Klinis
a.     Nyeri tekan
b.    Nyeri lokal
c.     Bengkak
d.    Kenaikan suhu
e.     Leukositosis
(Modifikasi: Smeltzer at aI, 2001 : 496. Levis, S Met al,200 : 1187,589)
4.      Tanda-tanda infeksi
a.     Rubor ( kemerahan ).
b.    Kolor (panas) menggigil atau demam ( lebih dari 37,7° C ).
c.     Dolor ( nyeri ).
d.    Tumor ( bengkak ) terdapat pus ( rabas ) bau membusuk.
e.     Fungtio laesa.

1.7  Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dari abses antara lain:
1. Kultur ; Mengidentifikasi organisme penyebab abses sensitivitas menentukan obat yang paling efektif.
2.Sel darah putih, Hematokrit mungkin meningkat, Leukopenia, Leukositosis (15.000 - 30.000) mengindikasikan produksi sel darah putih tak matur dalam jumlah besar.
3.  Elektrolit serum, berbagai ketidakseimbangan mungkin terjadi dan menyebabkan acidosis, perpindahan cairan dan perubahan fungsi ginjal
4.Pemeriksaan pembekuan : Trombositopenia dapat terjadi karena agregasi trombosit, PT/PTT mungkin memanjang menunjukan koagulopati yang diasosiasikan dengan iskemia hati/sirkulasi toksin/status syok.

5. Laktat serum : Meningkat dalam acidosis metabolic, disfungsi hati, syok.
6.Glukosa serum, hiperglikemi menunjukkan glukogenesis dan glikogenesis di dalam hati sebagai respon dari puasa/perubahan seluler dalam metabolism.
7.BUN/Kreatinin :Peningkatan kadar diasosiasikan dengan dehidrasi,ketidakseimbangan/kegagalan ginjal dan disfungsi/kegagalan hati.
8.GDA : Alkalosis respiratori hipoksemia,tahap lanjut hipoksemia asidosis respiratorik dan metabolic terjadi karena kegagalan mekanisme kompensasi.
9. Urinalisis : Adanya sel darah putih/bakteri penyebab infeksi sering muncul protein dan sel darah merah.
10.Sinar X : Film abdominal dan dada bagian bawah yang mengindikasikan udara bebas di dalam abdomen/organ pelvis.
11. EKG : Dapat menunjukan perubahan segmen ST dan gelombang T,dan disritmia yang menyerupai infak miokard.
(Doenges,2000:873)
1.8   Penatalaksanan
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah, debridemen atau kuretase. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya, utamanya apabila disebabkan oleh benda asing karena benda asing tersebut harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong dan diambil absesnya, bersama dengan pemberian obat analgetik. Drainase, abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasi apabila abses telah berkembang dari peradangan serasa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus, antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau didoxacillin sering digunakan. Dengan adanya kemunculan stophylococcus aureus yang dapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efekif.












BAB IV
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN ABSES R. INGUINALIS

4.1  Fokus Pengkajian
Data tergantung pada tipe,lokasi,durasi dari proses infektif dan organ-organ yang terkena
1.        Aktifitas / istirahat
Gejala : Malaise
2.        Sirkulasi
Tanda  :    Tekanan darah normal/sedikit dibawah jangkauan normal (selama curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat (perifer hiperdinamik); lemah/lembut/mudah hilang, takikardi ekstrem (syok). Suara jantung : disritmia dan perkembangan S3 dapat mengakibatkan disfungsi miokard, efek dari asidosis/ketidakseimbangan elektrolit. Kulit hangat, kering, bercahaya (vasodilatasi), pucat, lembab, burik (vasokonstriksi).
3.                  Eliminasi
Gejala : Diare
4.                  Makanan/cairan
Gejala    :    Anoreksia, mual, muntah.

Tanda    :    Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/masa otot (malnutrisi). Penurunan haluaran, konsentrasi urine; perkembangan ke arah oliguria, anuria.
5.                  Neurosensori
Gejala    :    Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda    :    Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma
6.                  Nyeri I/kenyamanan
Gejala    :    Kejang abdominal, lokalisasi nyeri/ketidaknyamanan, urtikaria, pruritus umum.
7.                  Pemafasan
Tanda    :    Takipnea dengan penurunan kedalaman pemafasan, penggunaan kortikosteroid, infeksi baru, penyakit viral.
Tanda    :    Suhu umumnya meningkat (37,95°C atau lebih) tetapi mungkin normal pada lansia mengganggu pasien, kadang sub normal (dibawah 36,5°C), menggigil, luka yang sulit/lama sembuh, drainase purulen, lokalisasi eritema, ruam eritema makuler.


8.                  Sexualitas
Gejala    :    Perineal pruritus, baru saja menjalani kelahiran/aborsi
Tanda    :    Maserasi vulva, pengeringan vaginal purulen.
9.                  Penyuluhan / pembelajaran
Gejala    :    Masalah kesehatan kronis/melemahkan misal: DM, kanker, hati, jantung, ginjal, kecanduan alkohol. Riwayat splenektomi.  Baru saja menjalani operasi prosedur invasive, luka traumatik.
10.              Pertimbangan : Menunjukan lama hari rawat 7,5 hari.
11.  Rencana pemulangan         :    Mungkin dibutuhkan bantuan dengan perawatan/alat dan bahan untuk luka, perawatan, perawatan diri, dan tugas-tugas rumah tangga

Prioritas Keperawatan :
a.     Menghilangkan infeksi.
b.     Mendukung perfusi jaringan/volume sirkulasi.
c.     Mencegah komplikasi.
d.    Memberikan informasi mengenai proses penyakit, prognosa dan kebutuhan pengobatan.
(Doenges,2000:240)
4.2 Diagnosa Keperawatan
Secara teori pada kasus abses dapat ditarik beberapa diagnose keperawatan antara lain :
1.         Resiko tinggi berhubungan dengan prosedur invasif
2.         Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan regulasi temperatur.
3.         Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah arteri dan vena.
4.         Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan permiabilitas / kebocoran cairan kedalam lokasi interstisial (ruang ketiga).
5.          Resiko tinggi terhadap pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah.
6.         Kurang pengetahuan mengenai penyakit berhubungan dengan kesalahan interpretasi informasi.
7.         Nyeri berhubungan dengan regangan dan distorsi abses (kerusakanjaringan).
8.         Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh (gangguan neuromuskular).
9.         Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit.
( Doenges,2000:241 )


J.            Fokus Intervensi
Ada beberapa fokus intervensi yang muncul adalah sebagai berikut :
1.    Resiko tinggi infeksi terhadap perkembangan infeksi oportunistik berhubungan dengan prosedur invasif.
Tujuan                 : Menunjukan penyembuhan luka seiring perjalanan waktu.
Kriteria Hasil       : Bebas dari sekresi purulen/drainase, atau eritema dan afebris.
( Doenges, 2000: 874)
No
Intervensi
Rasionalisasi

a.       Berikan isolasi / pantau pengunjung sesuai indikasi.





b. Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas walaupun menggunakan sarung tangan steril.
c.         Batasi penggunaan alat / prosedur invasif jika memungkinkan.
d.        Lakukan inspeksi terhadap luka / sisi alat invasif setiap hari, berikan perhatian utama terhadap jalur hiperalimentasi
e.         Gunakan teknik steril pada waktu penggantian balutan

f.         Gunakan sarung tangan / pakaian pada waktu merawat luka yang terbuka/antisipasi dari kontak langsung dengan sekresi ataupun ekskresi.
g.        Buang balutan/bahan yang kotor dalam kantung ganda
h.        Pantau kecenderungan suhu.






i.          Amati adanya menggigil dan diaphoresis

j.        Memantau tanda - tanda penyimpangan kondisi / kegagalan untuk membaik  selama masa terapi.
k.        Inspeksi rongga mulut terhadap sariawan. Selidiki laporan rasa gatal / peradangan vaginal / perineal.
l.          Berikan obat anti infeksi sesuai petunjuk.

m.      Bantu / siapkan insisi dan drainase luka.

b.       Isolasi luka / linen dan mencuci tangan adalah yang dibutuhkan untuk mengalirkan luka, sementara isolasi / pembatasan pengunjung dibutuhkan untuk melindungi pasien imunosupresi. Mengurangi resiko kemungkinan infeksi.
b. Mengurangi kontaminasi silang.



c.       Mengurangi jumlah lokasi yang dapat menjadi tempat masuk organisme.
d.      Memberikan gambaran untuk identifikasi awal dari infeksi sekunder.

e.       Mencegah masuknya bakteri, mengurangi resiko infeksi nosokomial.
f.       Mencegah penyebaran infeksi / kontaminasi silang.



g.      Mengurangi area kotor / membatasi penyebaran organisme melalui udara.
h.      Demam tinggi menunjukan efek endotoksin pada hipotalamus dan endorphin yang melepaskan pirogen. Hipotermi adalah tanda-tanda genting yang merefleksikan perkembangan status syok / penurunan perfusi jaringan.
i.        Menggigil seringkali mendahului memuncaknya suhu pada adanya infeksi umum.
j.         Dapat menunjukan ketidak tepatan terapi antibiotik atau pertumbuhan berlebihan dari organisme resisten.
k.      Depresi sistem imun dan penggunaan antibiotik dapat meningkatkan resiko infeksi skunder; terutama ragi.
l.        Dapat membasmi / memberikan imunitas sementara untuk infeksi umum atau penyakit khusus.
m.    Memberikan kemudahan untuk memindahkan material purulen / jaringan nekrotik dan meningkatkan penyembuhan.





2.    Hipertermi berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada hipotalamus, perubahan pada regulasi temperatur.
Tujuan               :    Mendemonstrasikan suhu dalam batas normal, bebas dari kedinginan.
Kriteria Hasil     :    Tidak mengalami komplikasi berhubungan
Intervensi
 (Doenges,2000 : 874 )

No
Intervensi
Rasionalisasi

a.         Pantau suhu pasien (derajad dan pola); perhatikan menggigil / diaphoresis.
b.        Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur, sesual indikasi.
c.         Berikan kompres mandi hangat; hindari penggunaan alcohol.
d.        Berikan antipiretik.



e.         Berikan selimut pendingin.

a.        Suhu 38,9°C menunjukan proses infeksius akut .Pola demam dapat membantu dalam diagnosis.
b.        Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
c.       Dapat mengurangi demam, alkohol dapat mengeringkan kulit.
d.      Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.

e.       Digunakan untuk mengurangi demam tinggi pada waktu terjadi kerusakan/gangguan pada otak.



3.    Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan reduksi aliran darah arteri dan vena.
Tujuan               :    Menunjukan perfusi jaringan adekuat
Kriteria Hasil     :    Tanda-tanda vital stabil, nadi perifer jelas, kulit hangat dan kering, tingkat kesadaran umum, haluaran urine individu yang sesuai dan bising usus aktif
Intervensi
No
Intervensi
Rasionalisasi

a.       Pertahankan tirah baring; bantu dalam aktifitas dan perawatan.

b.      Pantau kecenderungan pada tekanan darah, mencatat perkembangan hipotensi, dan perubahan pada tekanan denyut.
c.       Pantau frekuensi dan irama jantung. Perhatikan disritmia.
d.      Perhatikan kualitas / kekuatan dari denyut perifer.



e.       Kaji frekuensi pernafasan, kedalaman, dan kualitas. Perhatikan dispnea berat.
f.       Selidiki perubahan pada sensorium.

g.      Kaji kulit terhadap perubahan warna, suhu, kelembaban.
h.      Catat haluaran urine dan berat jenisnya.




i.         Auskultasi bising usus.


j.        Pantau pH gaster sesuai petunjuk. Hematest sekresi gaster / feses darah samar.
k.      Evaluasi kaki dan tangan bagian bawah untuk pembengkaan jaringan lokal, eritema, tanda Homan positif
l.        Pantau tanda-tanda perdarahan.



m.    Catat efek obat-obatan dan tanda-tanda keracunan.

n.      Berikan cairan parenteral.

o.      Berikan obat-obatan steroid sesuai petunjuk.

p.      Pantau pemeriksaan laboratorium.
q.      Berikan suplemen O2

a.       Menurunkan beban kerja miokard dan konsumsi O2 memaksimalkan efektifitas dari perfusi jaringan.
b.      Hipotensi akan berkembang bersamaan dengan mikroorganisme menyerang aliran darah.

c.       Disritmia jantung dapat terjadi sebagai akibat dari hipoksia.
d.      Pada awal nadi cepat menunjukan peningkatan curah jantung, nadi lemah menunjukan penurunan curah jantung.

e.       Peningkatan pernafasan terjadi sebagai respon terhadap efek langsung dari endotoksin pada pusat pemafasan.
f.       Perubahan menunjukan penyimpangan perfusi serebral, hipoksemia,dan atau asidosis.
g.      Mekanisme kompensasi dari vasodilatasi.
h.      Penurunan haluaran urine dan peningkatan berat jenis akan mengindikasikan penurunan perfusi ginjal.


i.        Vasokonstrisi splaknik menurunkan peristaltik dan dapat menimbulkan ileus paralitik.
j.        Stress dari penyakit dan penggunaan steroid meningkatkan resiko erosi / perdarahan mukosa gaster.
k.      Stasis vena dan proses infeksi dapat menyebabkan perkembangan thrombosis.
l.        Akselerasi pembekuan pada mikrosirkulasi menciptakan situasi perdarahan yang membahayakan jiwa / emboli multiple
m.    Dosis antibiotik massif sering memiliki efek toksik potensial bila perfusi hepar / ginjal terganggu.
n.      Untuk mempertahankan perfusi jaringan.
o.      Untuk menurunkan permiabilitas kapiler

p.      Untuk mengetahui perkembangan asidosis.
q.      Peningkatan suhu meningkatkan metabolisme O2.

4.    Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan berhubungan dengan permiabilitas/kebocoran cairan kedalam lokasi interstisial.
Tujuan               :    Mempertahankan volume sirkulasi adekuat
Kreteria Hasil    :    Tanda vital dalam batas normal, nadi perifer teraba haluaran urine adekuat.
No.
Intervensi
Rasional

a.        Catat haluaran urine dan berat jenis. Catat keseimbangan masukan dan keluaran komulatif. Dorong masukan cairan oral sesuai toleransi.


b.      Pantau tekanan darah dan denyut jantung, ukur CVP.



c.         Palpasi denyut perifer.


d.      Kaji membrane mukosa, turgor kulit dan rasa haus.

e.       Amati edema dependen / perifer pada saluran, skrotum, punggung kaki.


f.       Berikan cairan IV, misal kristaloid (0,5%) sesuai indikasi.


g.      Pantau nilai laboratorium.
a.       Keseimbangan cairan positif lanjut dengan disertai penambahan berat badan dapat mengindikasikan edema ruang ketiga,dan edema jaringan, menunjukan perlunya mengubah terapi/komponen pengganti
b.      Mekanisme kompensasi awal dari takikardia untuk meningkatkan curah jantung dan meningkatkan tekanan darah sistemik.
c.       Denyut yang lemah, mudah hilang dapat menyebabkan hipovolemi.
d.      Hipovolemi / cairan ruang ketiga akan memperkuat tanda-tanda hipovolemi.
e.       Kehilangan cairan dari kompartemen vaskuler kedalam ruang interstisiil akan menyebabkan edema.
f.       Menggantikan kehilangan dengan maningkatkan permiabilitas kapiler dan meningkatkan sumber-sumber tak kasat mata.
g.      Mengevaluasi perubahan didalam hidrasi/viskositas
darah.
.
 (Doenges, 2000 ; 878 - 879)

5.    Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan :
a.         Perubahan pada suplai O2, efek endotoksin pada pusat pemafasan
b.        Perubahan aliran darah
Tujuan               :            Pasien menunjukan GDA dan frekuensi pemafasan dalam batas normal
Kriteria Hasil     :            Bunyi nafas bersih dan sinar x dada jelas / membaik tidak mengalami dispnea / sianosis
No.
Intervensi
Rasional

a.       Pertahankanjalan nafas paten (Kepala lebih tinggi).
b.      Pantau frekuensi dan kedalaman pemafasan, catat penggunaan otot bernafas.


c.       Auskultasi bunyi nafas.


d.      Catat munculnya  sianosis `sirkumoral.
e.       Selidiki perubahan pada sensori.
f.       Sering ubah posisi. Dorong untuk batuk dan latihan napas dalam.
g.      Patau GDA / nadi oksimetri.




h.      Berikan O2 tambahan melalui jalur yang sesuai.

i.        Tinjau sinar X dada.
a.       Meningkatkan ekspansi paru, upaya pemafasan.
b.      Hipoventilasi dan dipsnea merefleksikan mekanisme kompensasi yang tidak efektif dan merupakan indikasi bahwa diperlukan ventilator.
c.       Kesulitan pernafasan dan munculnya bunyi adventisius merupakan indikator.
d.      Menunjukan oksigen sistemik tidak adekuat/hipoksemia.
e.       Fungsi serebral sangat sensitif terhadap penurunan oksigenasi.
f.       Untuk memaksimalkan pertukaran gas.

g.      Pada waktu kondisi septic memburuk, asidosis metabolik yang meningkat untuk membangun asam laktat dan metabolisme anaerob.
h.      Untuk mengoreksi hipoksemia dengan menggagalkan asidosis respiratorik.
i.        Perubahan menunjukan perkembangan dan komplikasi pulmonal.


 (Doenges, 2000: 879 - 880)
6.    Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan bergubungan dengan :
a.         Kurangnya pemajanan / mengingat, kesalahan Interpretasi informasi
b.        Keterbatasan Kognitif
Ditandai
1)        Pertanyaan permintaan informasi,pernyataan salah konsepsi
2)        Ketidak akuratan mengikuti instruksi / perkembangan komplikasi yang dapat dicegah
Tujuan                 :    Menunjukkan pemahaman akan proses penyakit dan prognosis
Kreteria Hasil      :    Ikut serta dalam program pengobatan, memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dengan dapat penunjukkan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan rasional dan tindakan.
(Doenges, 2000 : 880 - 881)
No.
Intervensi
Rasional

a.       Tinjau proses penyakit dan harapan masa depan.

b.      Tinjau faktor resiko individual dan bentuk penularan tempat masuk infeksi.


c.       Berikan informasi mengenai terapi obat - obatan, efek samping dan pentingnya ketaatan pengobatan.

d.      Diskusikan kebutuhan input yang tepat dan seimbang.
e.       Dorong periode istirahat adekuat dan aktivitas terjadwal.
f.       Tinjau perlunya kesehatan pribadi dan kebersihan lingkungan.
g.      Diskusikan penggunaan yang tepat atau menghindari tampon sesuai indikasi.

h.      Identifikasi tanda / gejala yang membutuhkan evaluasi medis.



i.        Tekankan pentingnya imunisasi profilaktik / terapi antibiotik sesuai kebutuhan.
a.       Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan.
b.      Menyadari terhadap bagaimana infeksi ditularkan akan memberikan informasi untuk merencanakan/melakukan tindakan protektif.
c.       Meningkatkan pemahaman dan meningkatkan kerja sama dalam penyembuhan/profilaksis, dan untuk mengurangi resiko kambuhnya komplikasi.
d.      Perlu untuk penyembuhan optimal dan kesejahteraan umum.
e.       Mencegah kepenatan, penghematan energi, dan meningkatkan penyembuhan.
f.       Membantu pemajanan lingkungan dengan mengurangi jumlah bakteri patogen yang ada.
g.      Tampon superabsorbent /merupakan resiko potensial bagi infeksi stpahilococcus aureus (sindrom syok toksik).
h.      Pengenalan dini dari perkembangan infeksi akan memungkinkan intervensi dan mengurangi resiko kearah situasi yang membahayakan jiwa.
i.        Penggunaan pencegahan terhadap infeksi.

.
 (Doenges, 2000 : 881)


7.      Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh (gangguan neuromuskular).
a. Gangguan neuromuskuler, nyeri/tidak nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.
b. Terapi pembatasan, imobilisasi tungkai, kontraktur.
Ditandai:
a.         Menolak bergerak/tidak mampu bergerak sesuai tujuan rentang gerak terbatas, penurunan kekuatan kontrol dan/atau masa otot.
Tujuan   :            Menyatakan dan menunjukan keinginan berpartisipasi dalam aktifitas.
Kriteria Hasil :
a. Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur.
b. Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi yang sakit dan atau kompensasi tubuh.
c. Menunjukan teknik/perilaku yang memampukan melakukan aktifitas.
No.
Intervensi
Rasional

a.       Bantu klien dalam beraktifitas bila tidak mampu.

b.      Tingkatkan aktifitas perawatan diri pasien setiap saat.
c.       Berikan alternative dengan periode yang cukup.

d.      Pantau rtespon terhadap aktifitas

a.       dengan membantu aktivitas yang di perlukan pasien akan membantu mengurangi resiko yang tidak di inginkan.
b.      aktivitas dapat meningkat jika memotivasi yang sesuai dengan kondisi pasien.
c.       aktifitas dapat meningkatkan istirahat yang untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh.
d.      meningkatkan kontrol terhadap situasi

 (Doenges,2000 : 738)


8.    Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
a. Trauma      :            Kerusakan permukaan kulit karena destruksi lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam).
Ditandai   :            Tak ada jaringan hidup.
Tujuan               : Menunjukan regenerasi jaringan.
Kriteria Hasil     : Mencapai penyembuhan tepat waktu pada area luka.
No.
Intervensi
Rasional

a.       Kaji/ ukuran, wama, kedalaman luka , perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.
b.      Berikan perawatan luka yang tepat dan tindakan kontrol infeksi.
c.       Pertahankan penutupan luka sesuai indikasi.
d.      Siapkan/bantu prosedur bedah.
a.       Memberikan informasi dasar tentang kebutuhan penambahan kulit dan kemungkinan petunjuk tentang sirkulasi pada area luka.

b.      Menurunkan resiko infeksi.


c.       Mencegah kontaminasi dengan agent dan mencegah infeksi.
d.      Mempercepat penyembuhan abses.


 (Doenges, 2000: 653 )

9.    Nyeri berhubungan dengan
a.    Kerusakan kulit/jaringan, pembentukan edema.
b.    Manipulasi jaringan cidera,debridement luka
Ditandai:
a. Keluhan nyeri.
b. Fokus menyempit, penampilan wajah nyeri.
c. Perubahan tonus otot; respon autonomik.
d. Perilaku distraksi, melindungi; ansietas / ketakutan.
Tujuan               :  Melaporkan nyeri berkurang / terkontrol.
Kriteria Hasil    :
a. Menunjukan ekspresi wajah / postur tubuh rileks.
b.  Berpartisipasi dalam aktivitas dan tidur / istirahat dengan tepat.
No.
Intervensi
Rasional

a.       Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode pemajanan pada udara terbuka.
b.      Tinggikan ekstremitas luka bakar secara periodik.




c.       Berikan tempat tidur ayunan sesuai indikasi.
d.      Tutup jari / ekstremitas pada posisi berfungsi (menghindari posisi fleksi sendi yang sakit) menggunakan bebat pada papan kaki sesuai keperluan.

e.       Ubah posisi dengan sering dan rentang gerak pasif dan aktif sesuai indikasi.

a.       Suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada pemajanan ujung saraf.


b.      Peninggian mungkin diperlukan pada awal untuk mnenurunkan pembentukan edema setelah perubahan posisi dan peninggian menurunkan ketidaknyamanan serta resiko kontraktur sendi.
c.       Peninggian linen dari luka membantu menurunkan nyeri.
d.      Posisi fungsi menurunkan deformitas / kontraktur dan meningkatkan kenyamanan. Meskipun posisi fleksi sendi cendera dapat merasa lebih nyaman, ini dapat mengakibatkan kontraktur fleksi.
e.       Gerakan dan latihan menurunkan kekakuan sendi dan kelelahan otot tetapi tipe latihan tergantung pada lokasi dan luas cendera.

 (Doenges, 2000:654)

0 comments:

Posting Komentar

Recent Posts

Categories

Unordered List

*

  • Web
  • Blog Anda
  • Text Widget

    Blog Archive

    Total Tayangan Halaman

    Diberdayakan oleh Blogger.
    Kajian.Net